Si Anak Kebun Singkong itu Kini Sudah Punya “Furever Loving Home”

Oleh: Arditya Laksono- Freelance English Tutor.

Wajahnya memelas dan sorot matanya penuh dengan kesedihan. Anak Anjing berwarna putih kecoklatan itu berdiri di samping tembok rumah kusam yang ada di sebuah kawasan perkebunan singkong di Karadenan, Kabupaten Bogor.

Setiap hari Ia mengamati orang yang berjalan di jalan setapak yang ada di depan kebun. Ketika ada kendaraan bermotor melintas, Ia langsung lari terbirit-birit untuk bersembunyi di semak-semak. Ketika malam tiba, Ia hanya bisa meringkuk di balik tembok dalam kegelapan dan harus menahan serbuan nyamuk di kebun. Entah, siapa yang tega membuang jiwa kecil tak berdosa itu di kebun singkong.

Saat itu September 2020, Indonesia tengah dilanda pandemi Covid-19 dan sedang dalam masa pembatasan sosial berskala besar. Waktu pagi hari biasanya saya habiskan untuk berolahraga ringan sambil mencari udara segar dan menikmati hangatnya mentari pagi. Ketika saya sedang bersepeda di sekitar kebun singkong, saya merasa seperti ada yang mengamati gerak-gerik saya.

Saat itu kondisi jalanan sedang sepi, tidak ada orang atau kendaraan bermotor yang melintas. Saat saya menuntun sepeda, terdengar suara semak-semak yang bergerak di dekat saya. Karena penasaran, saya mencoba mendekatinya dan terlihat seperti seekor kucing berbulu putih yang sedang berdiri di tengah lebatnya semak-semak.

Setiap hari Ia mengamati orang yang berjalan di jalan setapak yang ada di depan kebun. Ketika ada kendaraan bermotor melintas, Ia langsung lari terbirit-birit untuk bersembunyi di semak-semak. Ketika malam tiba, Ia hanya bisa meringkuk di balik tembok dalam kegelapan dan harus menahan serbuan nyamuk di kebun. Entah, siapa yang tega membuang jiwa kecil tak berdosa itu di kebun singkong.

Esoknya, saya melintasi perkebunan itu lagi. Karena saya kasihan melihat kondisi anak itu, saya sudah membawa jerky dari rumah sebagai bekal. Saya mencoba mendekat ke area semak-semak kemarin dan ternyata Ia tidak ada di sana. Setelah mencari, ternyata Ia mengintip dari balik tembok rumah yang ada di areal kebun. Saya pun mencoba memanggilnya dengan melambai-lambaikan “jerky” yang saya bawa. Dengan wajah yang memelas dan lugu, anak itu hanya menatap saja dan nampak ragu-ragu untuk menghampiri saya. Akhirnya saya melempar jerky itu ke dekat tempat anak itu berdiri. Sungguh tak disangka, Ia langsung mengambil jerky itu dan membawanya ke balik tembok. Sejak saat itu, hampir setiap hari saya melemparkan 1-2 buah jerky ke kebun.

Hingga pada suatu pagi di pertengahan September, saya mencoba memanggil anak itu dengan melambaikan jerky. Tak disangka, Ia langsung berlari menghampiri saya dan mengibaskan ekornya dengan sangat kencang. Sambil menggaruk-garuk tubuhnya, Ia menikmati cemilan itu dengan lahap. Anak malang itu nampaknya sudah mulai percaya dengan saya. Bulunya putih, namun kusam dan penuh kutu. Perutnya buncit bukan karena kegemukan melainkan karena cacingan

Karena hari beranjak siang, saya harus segera pulang ke rumah. Ketika saya hendak pulang, anak itu menatap saya dengan tatapan mata yang penuh harap. Hati ini ingin saja membawanya pulang, karena jarak rumah sangat dekat. Namun saya ragu karena masih memiliki seekor anjing senior di rumah. Tidur pun sulit, karena tatapan matanya terus membayangi pikiran. Akhirnya dua hari kemudian, setelah berdiskusi dengan keluarga di rumah, saya menjemputnya dari kebun singkong itu. Ketika saya datang, anak itu seakan mengerti kalau saya akan membawanya pulang ke rumah. Ia tak lagi bersembunyi di semak ataupun tembok rumah. Ia duduk di jalan setapak kebun dan langsung menghampiri saya. Semesta seakan menganugerahi saya dengan anak ini, dengan pintarnya Ia mengekor sepeda saya dari kebun singkong hingga ke rumah.

Sesampainya di rumah, anak itu langsung dimandikan untuk membersihkan kutu yang bercokol di tubuhnya. Kami pun tidak menyangka, saat dimandikan Ia tidak memberontak sama sekali. Anjing senior kami di rumah pun tidak masalah dengan kehadiran anak itu, seakan memang rumah kami sudah “rejeki” bagi dirinya. Karena kebiasaannya yang suka berlari dan berguling-guling di lantai, kami beri nama dia “Brandy”. Untuk menjamin kesehatannya juga, Ia telah mendapatkan vaksin lengkap dan obat cacing di klinik hewan dekat rumah. Ketika awal masuk beratnya hanya sekitar 5 kg, sekarang sudah hampir 18kg.

Sepeninggal anjing senior kami, Brandy kini menjadi anjing kesayangan nomor satu di rumah. Dari kisah hidup Brandy kita dapat belajar bahwa tidak perlu membeli jika ingin mendapatkan cinta dan kebahagiaan dari seekor anjing. Banyak anjing lucu yang terlantar di luar sana menunggu uluran tangan manusia baik hati yang membukakan pintu rumahnya untuk mereka.

Adopt, don’t shop!

SUMBER FOTO & ARTIKEL :  Arditya Laksono