SATWA LIAR DAN KESEJAHTERAANNYA
Oleh : Drh Rio Aditya, MSc.
image credit to Joan de la Malla
Tina, seorang gadis kecil berusia 8 tahun sedang diajak orang tuanya berkeliling lingkungan sekitar tempat tinggalnya. Dari kejauhan, terdengar suara musik genderang yang nyaring di antara kerumunan anak-anak sebayanya. Seekor monyet ekor panjang sedang mengenakan topeng dan menari membawa payung di tangan kanannya. Tidak seperti teman-temannya yang tertawa, Tina iba melihat rantai yang mengikat erat monyet tersebut. Sambil memperhatikan seluruh kejadian tersebut dia pun bertanya kepada Ibunya, “Ibu, kenapa monyet tersebut harus dirantai dan ditarik paksa? Bukankah itu kejam sekali?”
Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) di kisah tadi merupakan contoh dari seekor satwa liar yang tidak sejahtera. Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1990, satwa liar adalah semua binatang yang hidup di darat, dan/atau di air dan/atau di udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang dipelihara oleh manusia. Kekerasan dan eksploitasi terhadap satwa liar telah didokumentasi sejak zaman kerajaan Romawi, ratusan tahun sebelum Masehi, dimana satwa liar yang buas ditangkap dan dipertontonkan kematiannya oleh masyarakat banyak. Di era yang berdekatan, satwa liar juga sering dipergunakan sebagai atraksi festival masyarakat. Kesengsaraan satwa tercermin melalui dokumentasi-dokumentasi bagaimana satwa tersebut diperlakukan. Gajah, misalnya, dilatih oleh tentara Romawi dengan menggunakan rasa lapar dan pecutan cambuk sebagai metode pengajaran yang dianggap efektif pada saat itu. Baru pada sekitar abad ke-19, sebagian orang, seperti Tina, mulai menantang anggapan umum masyarakat “Hewan tidak memiliki nyawa” dan berbagai protes mulai muncul menanggapi praktik kekerasan terhadap hewan, khususnya satwa liar.
Dalam beberapa tahun terakhir, sudah terdapat kemajuan pesat mengenai ilmu pengetahuan mengenai hewan dan kesejahteraannya. Untuk mencari tahu lebih lanjut mengenai apa faktor kesejahteraan pada hewan secara umum, dapat dilihat disini. Perubahan ini juga mengetuk empati serta rasa hormat terhadap kehidupan dari berbagai lapisan masyarakat, serta mengubah bagaimana manusia berinteraksi dengan satwa liar.
Apa dampak kita terhadap kehidupan satwa liar?
Menurut Fraser (2011), terdapat empat kategori tindakan manusia yang memberikan dampak terhadap keberlangsungan hidup satwa liar.
PERTAMA
pemeliharaan satwa liar. Berbeda dengan hewan domestik seperti anjing dan kucing yang cenderung lebih mudah dijaga kesejahteraannya, satwa liar memiliki tingkat kesulitan yang jauh lebih tinggi sehingga hampir tidak mungkin seorang manusia dapat memberikan kehidupan yang baik terhadap satwa liar tersebut. Satwa liar juga memiliki tingkat stress yang tinggi sehingga sebagian besar pemeliharaan satwa liar memberikan kesengsaraan dan tidak jarang, kematian. Praktik pemeliharaan hewan khususnya satwa liar secara tidak benar juga berisiko terhadap kesehatan warga sekitar. Lebih lengkap silahkan klik disini
KEDUA
praktik perburuan satwa liar, baik untuk makanan, obat-obatan ataupun karena dianggap hama.
KETIGA
Tindakan yang menyebabkan penderitaan langsung namun tidak disengaja; contohnya pembukaan habitat hutan untuk pertanian dan limbah polusi minyak dan sampah di lautan.
KEEMPAT
tindakan yang menyebabkan penderitaan secara tidak langsung; misalnya penggunaan zat kimiawi dalam pertanian, penggunaan energi yang tidak berkelanjutan dan perubahan iklim.
Bagaimana dengan Satwa Liar di Kebun Binatang?
Konservasi Ex-Situ atau yang akrab dikenal seperti kebun binatang dan akuarium adalah instansi teregistrasi yang memiliki tujuan khusus yaitu pemeliharaan satwa dengan maksud mempertahankan kelangsungan hidup satwa, yang tidak termasuk dalam lingkup artikel ini. Akan tetapi perlu diketahui, perkembangan keilmuan mengenai kesejahteraan hewan juga membawa perubahan pada konsep konservasi; beralih dari konsep “rekreasi” menjadi “pusat edukasi masyarakat terhadap kesejahteraan hewan”. Berbagai prosedur ketat dan rumit sedang diterapkan dalam manajemen pemeliharaan satwa, sehingga satwa dapat hidup dengan tingkat kesejahteraan terbaik yang bisa diberikan, meliputi mempekerjakan dokter hewan dan ahli zoologi di lapangan, manajemen evaluasi kesejahteraan yang ketat, perbaikan desain dan ukuran tempat tinggal, serta fungsi lain seperti sarana konservasi in-situ dan juga edukasi terhadap masyarakat. Ingin berpartisipasi dalam menjaga kesejahteraan satwa liar dalam lingkup konservasi ex-situ maupun in-situ? Baca artikelnya disini.
Lalu apa yang perlu saya lakukan?
Pada akhirnya, tidak ada rumah terbaik bagi para satwa liar kecuali di lingkungan alam liar mereka sendiri. Kita dapat mendukung keberlangsungan kehidupan satwa liar di habitat alaminya dengan menjaga lingkungan tempat tinggal satwa di sekitar kita. Hindari pemeliharaan satwa liar yang dapat menyengsarakan. Mulai berbuat kebaikan dan berempati terhadap satwa liar dengan memberitahukan hal ini dengan keluarga dan kerabat di sekitar kita.
Daftar Pustaka:
Wilson, D.A., 2016. WELFARE OF PERFORMING ANIMALS. SPRINGER-VERLAG BERLIN AN.
Mellor, D.J., Hunt, S. and Gusset, M., 2015. Caring for wildlife: the world zoo and aquarium animal welfare strategy. WAZA Executive Office.
Fraser D , MacRae AM 2011, Four types of activities that affect animals: Implications for animal welfare science and animal ethics philosophy, Animal Welfare, 20, 581, 590
Ruth E. Feber, Eva M. Raebel, Neil D’cruze, David W. Macdonald, Sandra E. Baker, Some Animals Are More Equal than Others: Wild Animal Welfare in the Media, BioScience, Volume 67, Issue 1, January 2017, Pages 62–72, https://doi.org/10.1093/biosci/biw144